MAKALAH
PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN BERKAITAN
DENGAN KURIKULUM
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pesantren
yang dibimbing oleh :
Abdul Haq AS, S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun Oleh :IV MPI B
Ulfa Elvitasari (201691200095)
Umi Kulsum (201691200096)
Vina Lutfiatul
Umami (201691200097)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AT TAQWA BONDOWOSO
JL. HOS. COKROAMINOTO KADEMANGAN – BONDOWOSO
TAHUN AKADEMIK 2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan salah
satu lembaga pendidikan nonformal yang berkembang di Indonesia. Di dalam suatu
lembaga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai atau cita-cita yang tertuang
dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang tidak
dapt dipisahkan, dilihat dari substansinya, kurikulum harus berkesinambungan
antara satu jenjang dengan jenjang yang lain.
Namun, dalam dunia pondok pesantren
yang kita tahu tidak ada kurikulumnya.
Padahal, kenyataannya pesantren itu memiliki kurikulum tapi bukan kurikulum
secara resmi dari pemerintah, karena hal itu merupakan otonomi masing-masing
pengasuh pondok pesantren.Sehingga kurikulum pesantren lebih bersifat
pembelajaran yang tradisional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada
pesantrenn yang memadukan kurikulum tradisional dan modern.Selain itu, dalam
pondok pesantren juga sistem pembelajaran yang bermacam-macam, dari mulai
sistem pembelajaran umum maupun agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Kurikulum Pesantren?
2.
Bagaimana Kurikulum dan Sistem Pembelajaran
Pesantren?
3.
Apa Tujuan Kurikulum Pesantren?
4.
Apa Saja Kendala Pengembangan Kurikulum
Pesantren?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Kurikulum
Pesantren.
2.
Untuk Mengetahui Kurikulum dan Sistem
Pembelajaran Pesantren.
3.
Untuk Mengetahui Tujuan Kurikulum Pesantren.
4.
Untuk Mengetahui Kendala Pengembangan Kurikulum
Pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum
Dalam bidang
pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model
pendidikan.Tanpa adanya kurikulum sulit rasanya bagi para perencana pendidikan
untuk mencaai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Dalam bahasa Arab
kurikulum disebut dengan istilah Manhaj atau minhaj yang berarti sejumlah rencana dan wasilah yang
telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan.[1]
Kurikulum
merupakan salah satu bagian utama yang digunakan sebagai barometer menentukan
isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta tolak ukur
keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Oleh karena itu keberadaan
kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting.
Sedangkan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang system pendidikan nasional pasal 36 ayat (2) dijelaskan bahwa kurikulum
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah dan peserta didik pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
Dalam
konteks pendidikan di pesantren istilah kurikulum tidak terkenal di dunia
pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah
ada didalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan
latihan kecakapan hidup di pesantren. Oleh karena itu, kebanyakan pesantren
tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit atau
mengimplementasikannya dalam kurikulum. Di samping itu tujuan pendidikan
pesantren sering hanya ditentukan oleh kebijakan kyai, sesuai dengan
perkembangan pesantren tersebut. Kurikulum pesantren
senantiasa mengacu pada pengertian yang luas, sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dan bisa melibatkan di samping aktivitas
yang diperankan oleh santri juga diperankan oleh kiai.
Menurut Al
Syaibany, kurikulum pendidikan islam berbeda dengan kurikulum pada umumnya.
Kurikulum dalam pendidikan islam memiliki lima ciri utama yang membedakannya
dari kurikulum secara umum, diantaranya sebagai berikut:
1. Kurikulum pendidikan islam menonjol dan mengutamakan
agama dan akhirat dalam berbagai tujuannya yang meliputi materi, metode, alat
dan teknik pengajaran.
2. Cakupannya bersifat luas dan menyeluruh
yang mencerminkan dari semangat, pemikiran dan ajaran islam yang bersifat
universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, psikologis, sosial dan
spiritual.
3. Menerapkan prinsip keseimbangan didalam
muatan materi keilmuannya dan didalam fungsi ilmu pengetahuan baik bagi
pengembangan individu maupun masyarakat.
4. Mencakup keseluruhan mata pelajaran yang
dibutuhkan peserta didik.
5. Disusun berdasarkan minat dan bakat peserta
didik.[2]
B.
Kurikulum Pesantren dan Sistem Pembelajaran
Pesantren
Sebagaimana
disinggung diatas bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen atau instrument
dari suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan pesantren. Kurikulum
merupakan pengantar materi yang dianggap
efektif dan efisien dalam menyampaikan misi dan pengoptimalisasian sumber daya
manusia (santri). Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan sebagaimana tujuan
didirikannya pesantren yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim
dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.
Kurikulum yang dikembangkan di pesantren
dapat dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan jenis pola pesantren itu
sendiri, yaitu :
1. Pesantren Salaf (tradisional)
Kurikulum pesantren salaf yang statusnya
sebagai lembaga pendidikan non formal
yang umumnya keilmuan Islam digali dari kitab-kitab klasik, dan pemberian
keterampilan yang bersifat sederhana yang meliputi: Tauhid, tafsir, hadis,
ushul fiqh, tasawuf, bahasa arab (Nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid), mantik,
akhlak. Pelaksanaan kurikulum pesantren ini berdasarkan kemudahan dan
kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal,
menengah dan tingkat lanjutan. Sistem pengajaran di pesantren memiliki tiga
metode, yaitu :
a. Sorogan
Sorongan merupakan metode pembelajaran yang
dilakukan secara individual. Dalam metode ini seorang santri membaca,
menjelaskan dan menghafal pelajaran dari suatu kitab yang dikaji dihadapan
kyainya. Apabila ada kesalahan, kyai atau ustad bisa langsung membetulkannya.
Hal ini dilakukan oleh para santri secara bergiliran. Sitem sorongan ini
biasanya hanya diberikan untuk santri-santri baru yang masih memerlukan
bimbingan individual.Sistem ini merupakan bagian yang paling sulit dari
keseluruhan sistem pendidikan islam tradisional, karena itu menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan dari pribadi para santri. Sistem ini
dianggap sangat efektif bagi para santri karena mendapatkan bimbingan,
pengawasan dan penilaian langsung secara maksimal dari kyai atau ustadnya.[3]
Dalam metode ini seorang murid mendatangi
seorang guru yang membacakan beberapa baris Al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa
Arab dan menterjemahkannya kedalam
bahasa daerah masing-masing. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan
mengulangi terjemahan tersebut secara tepat.
b. Bandongan (Weton)
Dalam sistem ini seorang murid mendengarkan
seorang guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali
mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid menyimak bukunya
sendiri dan membuat catatan tentang apa yang disampaikan oleh gurunya.
Sistem atau metode bandongan ini umumnya
hanya di khususkan bagi para santri pada kelas menengah atau lebih tinggi.
Kebanyakan pesantren khususnya pesantren-pesantren besar mengajarkan mulai dari
kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi yang diselenggarakan pada tiap hari
kecuali hari libur. Dalam pengembangannya, penyelenggaraan pengajian sistem
bandongan ini seringkali seorang kyai memerintahkan pada santrinya yang sudah
senior untuk mengajar.[4]
c. Hafalan
Dalam sistem ini seorang murid menghafalkan
bacaan Al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa arab dengan cara menghafal yang
nantinya bacaan tersebut dibacakan di depan gurunya. Metode hafalan ini
biasanya diperuntukkan bagi para santri tingkat dasar dan menengah [5]
Dalam metode ini, biasanya santri diberi tugas untuk
menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab untuk kemudian
membacakannya di depan sang kyai/ustadz. Oleh karena menggharuskan santri untuk
menghafal. Metode ini sangat relevan apabila diterapkan kepada santri yang
masih tergolong anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Sedangkan pada
usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan
lebih tepat digunakan untuk rumus dan kaidah-kaidah. Hal ini disebabkan pada
usia tersebut,tingkat kemampuan menghafal santri cenderung semakin lemah
seiring dengan menguatnya daya nalar dan pemahannya.[6]
d. Bahtsul Masa’il (Musyawarah)
Metode ini disebut juga dengan metode
musyawarah, diskusi atau seminar. Dalam metode ini beberapa santri membentuk
beberapa kelompok untuk membahas atau mengkaji sebuah permasalahan atau sebuah
kitab tertentu. Metode ini lebih cocok digunakan untuk para santri pada tingkat
menegah. Karena dalam metode ini mereka harus menentukan sebuah permasalahan,
menganalisa dan menyelesaikannya dengan argumen-argumen logika yang bersandar
pada kitab-kitab yang telah mereka pelajari.[7]
2. Pesantren Modern
Pesantren jenis ini yang mengkombinasikan
antara pesantren salafi dan juga model pendidikan formal dengan mendirikan
satuan pendidikan semacam SD/MI,SMP/MTs, SMA/SMK/MA bahkan sampai pada
perguruan tinggi. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum pesantren salaf
yang diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan islam yang disponsori oleh
Departemen Agama dalam sekolah (Madrasah). Sedangkan kurikulum khusus pesantren
dialokasikan dalam muatan local atau mungkin diterapkan melalui kebijaksanaan
sendiri.
Gambaran kurikulum lainnya adalah pada
pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum
yang ada di perguruan tinggi (madrasah) pada waktu waktu kuliah. Sedangkan
waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk
mengkaji keilmuan islam khas pesantren (pengajian kitab klasik).[8]
Kurikulum pendidikan pesantren modern yang
merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sistem sekolah diharapkan akan
mampu memunculkan output pesantren berkualitas sehingga santri bisa secara
cepat dan beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima
dengan baik oleh masyarakat.
C.
Tujuan
Kurikulum Pesantren
Tujuan umum pendidikan
pesantren tidak hanya untuk memperkaya pikiran santri dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai
spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan
bermoral, serta bukan hanya untuk kepentingan dunia, tetapi menanamkan kepada
mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Diantar
cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan tentu dapat berdiri sendiri dan
membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada
Tuhan. Para kyai dan guru selalu menaruh perhatian dan mengembangkan watak
pendidikan individual, santri dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
dirinya.[9]
Adapun tujuan khusus pendidikan pondok pesantren
adalah sebagai berikut:
a. Mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi orang muslim yang bertakwa
kepada Allah SWT, berkhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir
batin sebagai warga negara yang berpancasila.
b. Mendidik santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader ulama yang
mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan
ajaran Islam secara utuh dan dinamis.
c. Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor
pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual.
d. Mendidik santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.[10]
D.
Kendala
Pengembangan Kurikulum Pesantren
Di dalam pengembangan kurikulum pesantren tidak selalu sesuai
dengan apa yang diharapkan. Adapun beberapa kendala dalam pengembangan
kurikulum pesantren, yaitu:
1. Adanya faktor malas dalam diri santri sehingga tidak semua santri
berprestasi aktif sesuai dengan tujuan kurikulum serta kurangnya
tanggung jawab dalam hal belajar sehingga mereka terkesan masih suka main-main
dan belajar kurang maksimal.
2. Tenaga kependidikan belum semuanya memahami secara mendalam dengan kurikulum
yang dikembangankan.
3. Kurangnya
sarana dan prasarana yang memadai.[11]
Kendala yang berasal dari dalam diri
manusia yaitu kemalasan adalah hal sangat berpengaruh bagi pengembangan sistem
kurikulum pesantren. Apabila faktor ini sudah hilang dari dalam diri manusia,
kemungkinan besar pengembanga kurikulum akan terlaksana sesuai tujuan
pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bidang
pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting yang digunakan sebagai barometer dalam
setiap bentuk dan model pendidikan seperti menentukan isi pengajaran,
mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta tolak ukur keberhasilan dan
kualitas hasil pendidikan. Tanpa adanya kurikulum sulit rasanya bagi para
perencana pendidikan untuk mencaai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya.
Metode atau
sistem pembelajaran yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan,
yaitu: sorogan, bandongan (weton), hafalan dan musyawarah. Sebagaimana tujuan pendidikan
pesantren yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam
masyarakat, serta menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata
kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Kendala yang
berasal dari dalam diri manusia yaitu kemalasan adalah hal sangat berpengaruh
bagi pengembangan sistem kurikulum pesantren. Apabila faktor ini sudah hilang
dari dalam diri manusia, kemungkinan besar pengembanga kurikulum akan terlaksana
sesuai tujuan pendidikan.
B. Saran
Kurikulum dalam pesantren sangat memicum pada
kesuksesan dan ketercapaian tujuan pesantren itu sendiri. Diharapkan kepada
kyai, guru, ustad atau ustadzah serta santri yang ada di dalam pondok pesantren
dapat mengaplikasikan atau menerapkan kurikulum yang telah dibuat oleh
pemerintah ataupun yang dibuat sendiri secara baik supaya tujuan dari pesantren
nantinya bisa tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier
Zamakhsyari. 2015. Tradisi Pesantren
(Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia). Jakarta:
LP3ES.
Gunawan, Dkk.
2016. Islam Nusantara dan Kepesantrenan. Yogyakarta: Interpena.
Toto Suharto.
2016. Filsafat Pendidikan Islam
(Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan). Yogyakarta: Ar Ruzz
Media.
Jurnal Managemen Pendidikan
- Vol. 11, No. 2, Januari 2016 : 84-90. Yunanto Ari Prabowo. Pengelolaan
Kurikulum Dan Pembelajaran Berbasis Pesantren Di Smp
Jurnal Nawawee
Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
Manajemen
Kurikulum Dan Sistem Pembelajaran Di Pondok Pesantren Minhajuttholabah Lawigede
Kembangan Bukateja.Htm, diakses 20/03/2018
[1] Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan), Yogyakarta:
Ar Ruzz Media, 2016, Hal: 97
[2]Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan), Yogyakarta:
Ar Ruzz Media, 2016, Hal: 100
[3] Gunawan, Dkk. Islam
Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 143
[4] Gunawan, Dkk. Islam
Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 142
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia), Jakarta: LP3ES, 2015. Hal:
53-54
[6]Manajemen
Kurikulum Dan Sistem Pembelajaran Di Pondok Pesantren Minhajuttholabah Lawigede
Kembangan Bukateja.Htm, diakses 20/03/2018
[7] Gunawan, Dkk. Islam
Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 143
[8] Jurnal Nawawee
Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia), Jakarta: LP3ES, 2015. Hal:
45
[10] Jurnal Nawawee
Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
[11] Jurnal
Managemen Pendidikan - Vol. 11, No. 2,
Januari 2016 : 84-90. Diakses tanggal 20/03/2018