Minggu, 05 Mei 2019

Makalah Manajemen Pesantren (Pengelolaan Pondok Pesantren Berkaitan Dengan Kurikulum)


MAKALAH
PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN BERKAITAN
DENGAN KURIKULUM

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pesantren
yang dibimbing oleh :
Abdul Haq AS, S.Pd.I, M.Pd.I 



Disusun Oleh :IV MPI B
Ulfa Elvitasari                         (201691200095)
Umi Kulsum                            (201691200096)
Vina Lutfiatul Umami            (201691200097)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AT TAQWA BONDOWOSO
JL. HOS. COKROAMINOTO KADEMANGAN – BONDOWOSO
TAHUN AKADEMIK 2018-2019


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan nonformal yang berkembang di Indonesia. Di dalam suatu lembaga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai atau cita-cita yang tertuang dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapt dipisahkan, dilihat dari substansinya, kurikulum harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan jenjang yang lain.
Namun, dalam dunia pondok pesantren yang kita tahu tidak ada  kurikulumnya. Padahal, kenyataannya pesantren itu memiliki kurikulum tapi bukan kurikulum secara resmi dari pemerintah, karena hal itu merupakan otonomi masing-masing pengasuh pondok pesantren.Sehingga kurikulum pesantren lebih bersifat pembelajaran yang tradisional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada pesantrenn yang memadukan kurikulum tradisional dan modern.Selain itu, dalam pondok pesantren juga sistem pembelajaran yang bermacam-macam, dari mulai sistem pembelajaran umum maupun agama.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian Kurikulum Pesantren?
2.         Bagaimana Kurikulum dan Sistem Pembelajaran Pesantren?
3.         Apa Tujuan Kurikulum Pesantren?
4.         Apa Saja Kendala Pengembangan Kurikulum Pesantren?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Kurikulum Pesantren.
2.      Untuk Mengetahui Kurikulum dan Sistem Pembelajaran Pesantren.
3.      Untuk Mengetahui Tujuan Kurikulum Pesantren.
4.      Untuk Mengetahui Kendala Pengembangan Kurikulum Pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan.Tanpa adanya kurikulum sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencaai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Dalam bahasa Arab kurikulum disebut dengan istilah Manhaj atau minhaj  yang berarti sejumlah rencana dan wasilah yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.[1]
Kurikulum merupakan salah satu bagian utama yang digunakan sebagai barometer menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta tolak ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Oleh karena itu keberadaan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting.
Sedangkan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 36 ayat (2) dijelaskan bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
Dalam konteks pendidikan di pesantren istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada didalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan hidup di pesantren. Oleh karena itu, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit atau mengimplementasikannya dalam kurikulum. Di samping itu tujuan pendidikan pesantren sering hanya ditentukan oleh kebijakan kyai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Kurikulum pesantren senantiasa mengacu pada pengertian yang luas, sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dan bisa melibatkan di samping aktivitas yang diperankan oleh santri juga diperankan oleh kiai.
Menurut Al Syaibany, kurikulum pendidikan islam berbeda dengan kurikulum pada umumnya. Kurikulum dalam pendidikan islam memiliki lima ciri utama yang membedakannya dari kurikulum secara umum, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kurikulum pendidikan islam menonjol dan mengutamakan agama dan akhirat dalam berbagai tujuannya yang meliputi materi, metode, alat dan teknik pengajaran.
2.      Cakupannya bersifat luas dan menyeluruh yang mencerminkan dari semangat, pemikiran dan ajaran islam yang bersifat universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, psikologis, sosial dan spiritual.
3.      Menerapkan prinsip keseimbangan didalam muatan materi keilmuannya dan didalam fungsi ilmu pengetahuan baik bagi pengembangan individu maupun masyarakat.
4.      Mencakup keseluruhan mata pelajaran yang dibutuhkan peserta didik.
5.      Disusun berdasarkan minat dan bakat peserta didik.[2]

B.     Kurikulum Pesantren dan Sistem Pembelajaran Pesantren
Sebagaimana disinggung diatas bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen atau instrument dari suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan pesantren. Kurikulum merupakan pengantar  materi yang dianggap efektif dan efisien dalam menyampaikan misi dan pengoptimalisasian sumber daya manusia (santri). Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan sebagaimana tujuan didirikannya pesantren yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
Kurikulum yang dikembangkan di pesantren dapat dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan jenis pola pesantren itu sendiri, yaitu :
1.      Pesantren Salaf (tradisional)
Kurikulum pesantren salaf yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non  formal yang umumnya keilmuan Islam digali dari kitab-kitab klasik, dan pemberian keterampilan yang bersifat sederhana yang meliputi: Tauhid, tafsir, hadis, ushul fiqh, tasawuf, bahasa arab (Nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid), mantik, akhlak. Pelaksanaan kurikulum pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan. Sistem pengajaran di pesantren memiliki tiga metode, yaitu :
a.       Sorogan
Sorongan merupakan metode pembelajaran yang dilakukan secara individual. Dalam metode ini seorang santri membaca, menjelaskan dan menghafal pelajaran dari suatu kitab yang dikaji dihadapan kyainya. Apabila ada kesalahan, kyai atau ustad bisa langsung membetulkannya. Hal ini dilakukan oleh para santri secara bergiliran. Sitem sorongan ini biasanya hanya diberikan untuk santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual.Sistem ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan islam tradisional, karena itu menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan dari pribadi para santri. Sistem ini dianggap sangat efektif bagi para santri karena mendapatkan bimbingan, pengawasan dan penilaian langsung secara maksimal dari kyai atau ustadnya.[3]
Dalam metode ini seorang murid mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab  dan menterjemahkannya kedalam bahasa daerah masing-masing. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan mengulangi terjemahan tersebut secara tepat.
b.      Bandongan (Weton)
Dalam sistem ini seorang murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan tentang apa yang disampaikan oleh gurunya.
Sistem atau metode bandongan ini umumnya hanya di khususkan bagi para santri pada kelas menengah atau lebih tinggi. Kebanyakan pesantren khususnya pesantren-pesantren besar mengajarkan mulai dari kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi yang diselenggarakan pada tiap hari kecuali hari libur. Dalam pengembangannya, penyelenggaraan pengajian sistem bandongan ini seringkali seorang kyai memerintahkan pada santrinya yang sudah senior untuk mengajar.[4]
c.       Hafalan
Dalam sistem ini seorang murid menghafalkan bacaan Al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa arab dengan cara menghafal yang nantinya bacaan tersebut dibacakan di depan gurunya. Metode hafalan ini biasanya diperuntukkan bagi para santri tingkat dasar dan menengah [5]
Dalam metode ini, biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab untuk kemudian membacakannya di depan sang kyai/ustadz. Oleh karena menggharuskan santri untuk menghafal. Metode ini sangat relevan apabila diterapkan kepada santri yang masih tergolong anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Sedangkan pada usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumus dan kaidah-kaidah. Hal ini disebabkan pada usia tersebut,tingkat kemampuan menghafal santri cenderung semakin lemah seiring dengan menguatnya daya nalar dan pemahannya.[6]
d.      Bahtsul Masa’il (Musyawarah)
Metode ini disebut juga dengan metode musyawarah, diskusi atau seminar. Dalam metode ini beberapa santri membentuk beberapa kelompok untuk membahas atau mengkaji sebuah permasalahan atau sebuah kitab tertentu. Metode ini lebih cocok digunakan untuk para santri pada tingkat menegah. Karena dalam metode ini mereka harus menentukan sebuah permasalahan, menganalisa dan menyelesaikannya dengan argumen-argumen logika yang bersandar pada kitab-kitab yang telah mereka pelajari.[7]
2.      Pesantren Modern
Pesantren jenis ini yang mengkombinasikan antara pesantren salafi dan juga model pendidikan formal dengan mendirikan satuan pendidikan semacam SD/MI,SMP/MTs, SMA/SMK/MA bahkan sampai pada perguruan tinggi. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum pesantren salaf yang diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan islam yang disponsori oleh Departemen Agama dalam sekolah (Madrasah). Sedangkan kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan local atau mungkin diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri.
Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (madrasah) pada waktu waktu kuliah. Sedangkan waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji keilmuan islam khas pesantren (pengajian kitab klasik).[8]
Kurikulum pendidikan pesantren modern yang merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sistem sekolah diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas sehingga santri bisa secara cepat dan beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.

C.    Tujuan Kurikulum Pesantren
Tujuan umum pendidikan pesantren tidak hanya untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan  mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta bukan hanya untuk kepentingan dunia, tetapi menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Diantar cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan tentu dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Para kyai dan guru selalu menaruh perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual, santri dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya.[9]
Adapun tujuan khusus pendidikan pondok pesantren adalah sebagai berikut:
a.    Mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi orang muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berkhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila.
b.   Mendidik santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader ulama yang mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis.
c.    Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual.
d.   Mendidik santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.[10]

D.    Kendala Pengembangan Kurikulum Pesantren
Di dalam pengembangan kurikulum pesantren tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Adapun beberapa kendala dalam pengembangan kurikulum pesantren, yaitu:
1.      Adanya faktor malas dalam diri santri sehingga tidak semua santri berprestasi aktif sesuai dengan tujuan kurikulum serta kurangnya tanggung jawab dalam hal belajar sehingga mereka terkesan masih suka main-main dan belajar kurang maksimal.
2.      Tenaga kependidikan belum semuanya memahami secara mendalam dengan kurikulum yang dikembangankan.
3.      Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.[11]
Kendala yang berasal dari dalam diri manusia yaitu kemalasan adalah hal sangat berpengaruh bagi pengembangan sistem kurikulum pesantren. Apabila faktor ini sudah hilang dari dalam diri manusia, kemungkinan besar pengembanga kurikulum akan terlaksana sesuai tujuan pendidikan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting yang digunakan sebagai barometer dalam setiap bentuk dan model pendidikan seperti menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, serta tolak ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Tanpa adanya kurikulum sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencaai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya.
Metode atau sistem pembelajaran yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, yaitu: sorogan, bandongan (weton), hafalan dan musyawarah. Sebagaimana tujuan pendidikan pesantren yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat, serta menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Kendala yang berasal dari dalam diri manusia yaitu kemalasan adalah hal sangat berpengaruh bagi pengembangan sistem kurikulum pesantren. Apabila faktor ini sudah hilang dari dalam diri manusia, kemungkinan besar pengembanga kurikulum akan terlaksana sesuai tujuan pendidikan.

B.     Saran
Kurikulum dalam pesantren sangat memicum pada kesuksesan dan ketercapaian tujuan pesantren itu sendiri. Diharapkan kepada kyai, guru, ustad atau ustadzah serta santri yang ada di dalam pondok pesantren dapat mengaplikasikan atau menerapkan kurikulum yang telah dibuat oleh pemerintah ataupun yang dibuat sendiri secara baik supaya tujuan dari pesantren nantinya bisa tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier Zamakhsyari. 2015. Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia). Jakarta: LP3ES.
Gunawan, Dkk. 2016. Islam Nusantara dan Kepesantrenan. Yogyakarta: Interpena.
Toto Suharto. 2016.  Filsafat Pendidikan Islam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan). Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Jurnal Managemen Pendidikan - Vol. 11, No. 2, Januari 2016 : 84-90. Yunanto Ari Prabowo. Pengelolaan Kurikulum Dan Pembelajaran Berbasis Pesantren Di Smp
Jurnal Nawawee Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
Manajemen Kurikulum Dan Sistem Pembelajaran Di Pondok Pesantren Minhajuttholabah Lawigede Kembangan Bukateja.Htm, diakses 20/03/2018





[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan), Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016, Hal: 97
[2]Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan), Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2016, Hal: 100
[3] Gunawan, Dkk. Islam Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 143
[4] Gunawan, Dkk. Islam Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 142
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia), Jakarta: LP3ES, 2015. Hal: 53-54
[6]Manajemen Kurikulum Dan Sistem Pembelajaran Di Pondok Pesantren Minhajuttholabah Lawigede Kembangan Bukateja.Htm, diakses 20/03/2018
[7] Gunawan, Dkk. Islam Nusantara dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Interpena, 2016, Hal: 143
[8] Jurnal Nawawee Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia), Jakarta: LP3ES, 2015. Hal: 45
[10] Jurnal Nawawee Maeroh-Fitk. Diakses tanggal 20/`3/2018
[11] Jurnal Managemen Pendidikan - Vol. 11, No. 2, Januari 2016 : 84-90. Diakses tanggal 20/03/2018